Monday, November 19, 2012

Dokter Pedalaman? Kenapa Harus Takut!

Hallo kawan....


Bersama Eyang Jawa tercinta di Sumba dengan
masakan spesial Eyang jika saya lagi terkena virus
"malas memasak" karena ribet. Eyang sekarang kembali
ke Purwodadi dan semoga bisa bertemu lagi nanti ya Eyang
Rasanya luar biasa sekali akhirnya saya bisa membangun rumah maya ini sebagai ganti dari blog pertama saya www.happywithavis.multiply.com yang sudah digusur lantaran globalisasi berorientasi bisnis dari si pemilik multiply.  


Banyak cerita yang ingin saya tuliskan disini terutama terkait dengan dokter petualangan. Mengapa memilih ke pelosok dibandingkan berdiam diri di klinik atau rumah sakit perkotaan? Yah...saya bukannya naif bahwa kota memang lebih menjanjikan secara materi namun ada rasa cinta untuk mengenal negara saya lebih dekat dan satu-satunya jalan adalah dengan mengabdikan diri ke pelosok. 



Para kurcaci cilik yang mencerahkan
hari-hari saya selama di Sumba 

Dua tahun menjadi dokter petualangan rasanya luar biasa karena saya mendapat kesempatan melihat indahnya Indonesia.  Dan...Pulau Sumba menjadi kenangan indah akan pedalaman yang pernah saya jelajahi.


Saya bertemu para malaikat dalam beraneka rupa yang mengajarkan kesabaran juga limpahan kebaikan. Bahkan pertama kalinya saya mempraktekkan ilmu "perbedaan agama" secara "totalitas" di Desa Umbu Ngedo, Sumba Barat Daya dimana saya satu-satunya muslim sementara penduduk lainnya beragama Kristen.  

Bahkan saya bertemu tujuh kurcaci cilik yang membuat saya mencurahkan pikiran dan daya imajinassi berjuang melawan ketiadaan list
Bersama kuda tercinta saya "Si Ndara"
sebelum pertandingan Pasola Sumba
rik dengan tetap menulis kisah mereka. Satu Dokter dan Tujuh Kurcaci adalah novel petualangan saya bersama mereka yang sebagian kecil pernah saya publish disini 

Tidak terkecuali juga obsesi saya untuk menjajal petualangan di atas punggung kuda terkabulkan. Bukan hal mudah mencari kuda yang mampu menampung bobot tubuh saya namun akhirnya di bulan-bulan terakhir pengabdian, saya bertemu dengannya. Si "Ndara" yang dalam bahasa Sumba artinya kuda adalah kuda terkahir sekaligus tambatan hati saya dimana dia kuda jantan terganteng yang pernah saya naiki. Jatuh cinta pada pandangan pertama, sepertinya itu yang ingin si "Ndara" utarakan pada saya karena dia tidak menolak ketika saya kendarai pertama kalinya bahkan mau memberikan bonus "ciuman" pada saya. Wow...saya pun langsung memilih si Ndara sebagai kuda impian. Tapi jangan salah...si Ndara ini butuh perawatan ekslusif loh karena harus dibelikan pakan yang layak agar kuat menopang badan saya. Walhasil pakan satu karung langsung habis dalam seminggu dan itupun masih ditambah keringat selalu mengalir di badan Ndara setelah saya ajak jalan-jalan. Terima kasih ya Ndara....sudah bersabar dengan keinginan saya belajar mengendarai kuda. 



Di depan papan nama tempat saya mengabdi (Sumba)
dan rumah biru itu adalah kediaman saya selama setahun

Tidak hanya kurcaci dan kuda yang membuat saya betah berlama-lama di desa walau dari segi fasilitas tidak ada listrik dan cukup air. Bila saat ini saya kembali berpikir, rasanya luar biasa sekali dapat menjalani setahun tanpa listrik dengan tetap dapat eksis baik di blog maupun jejaring sosial lainnya. Rumusnya adalah kesabaran untuk nebeng mencari listrik di tempat yang punya colokan listrik.  Bicara soal listrik, dalam setahun saya sudah mencoba memanfaatkan teknologi listrik matahari dimana Sumba terkenal panas dan dapat menyimpan tenaga matahari dengan baik. Kenyataannya listrik matahari hanya mampu membuat lampu matahari saya menyala sekitaran dua jam saja tiap malamnya. 

Bersama Kak Martha (baju merah)
salah satu rekan kerja saya 


Hebatnya lagi, selama di Sumba saya mengalami insomnia alias sulit tidur di bawah jam 12 malam. Hanya sekali saya ingat ketika saya tidur jam 11 malam karena di hari itulah terjadi "insiden" terhadap diri saya. Selebihnya, saya banyak menghabiskan waktu bersama puluhan batang lilin yang setia menemani hingga saya tertidur. Bahkan karena menyalakan api itulah saya nyaris terbakar lantaran lupa memadamkan lilin. Korbannya adalah separuh kasur kapuk saya terbakar dan pinggiran laptop meleleh. Bersyukur tidak butuh reparasi total dan saya masih selamat. 


Namun hal terpenting adalah saya bertemu banyak warga yang menginspirasi. Belajar ketulusan pengabdian dari mereka juga kesabaran menjalani kehidupan luar biasa dari mereka. Betapa kuatnya para wanita Sumba bekerja sembari membagi waktu untuk tetap menyusui bayi-bayi mereka dan mengurus para suami. Sungguh tidak akan pernah saya lupakan bagaimana saya menghabiskan waktu setahun luar biasa bersama mereka. Para wanita yang walau hamil masih harus bekerja keras di ladang demi memberi makan keluarga mereka. Saya akan ceritakan di halaman lain tentang mereka suatu hari nanti. 



e
Bersama TIM LUAR BIASA DESA UMBU NGEDO
Perawat Erlin (biru), Perawat Nonci (pink), Pakdhe Wajiyo (kacamata)
dan Santo (putih) dan kami semua berjuang setahun bersama di Sumba
Dan...tentunya hal yang membuat saya beruntung berada di Sumba adalah ketika saya bekerja bersama tim hebat dalam bidang malaria. Saya bertemu Pakdhe Wajiyo yang sudah puluhan tahun mengabdikan diri dalam penelitian malaria. Banyak hal yang tidak dapat saya ceritakan bahwa saya sangat bersyukur sekaligus beruntung bertemu bapak paruh baya yang sudah saya anggap seperti ayah sendiri di Sumba ini. Berbagi cerita tentang banyak hal di kala malam dengan ditemani bintang-bintang terindah di langit luas adalah hal yang tidak akan saya lupakan. Perjuangan seorang ayah menyekolahkan anaknya hingga pendidikan tertinggi  mengingatkan saya akan papa saya sendiri dimana kami sekeluarga tidak pernah mempunyai "rumah" yang layak untuk ukuran "PNS" apalagi "Dokter". 


Tetapi...papa saya punya kebanggaan sendiri ketika menceritakan empat anaknya yang sukses. Saya anak pertama yang menjadi dokter dan adik saya beruntung sudah lebih mapan dalam hal karir di Menteri Keuangan dan kami berdua berkediaman di Jakarta. Sementara dua adik saya masih proses menyelesaikan kuliah di jurusan pertanian juga agama. Sudah lama sebenarnya orang tua saya mengharapkan saya bekerja di tempat yang lebih "mapan" atau bahasa kerennya bekerja menjadi "PNS". Bukan tidak mau, saya pribadi masih ingin berkelana melihat isi Indonesia sehingga untuk itu keinginan menjadi PNS belum menjadi prioritas.  Saya belum memutuskan di "belahan dunia" mana saya akan menetap dan mengabdikan diri sepenuhnya karena selama ini saya menjalani petualangan selama setahun lalu berpindah lagi. 


Selain Pakdhe Wajiyo, saya beruntung berkenalan dengan para gadis Sumba yang selama setahun menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, keluh juga kesah dan pastinya tertawa bersama. Perawat Erlin  sosok gadis Sumba yang berkemauan keras dalam belajar terbukti dengan semangat menyelesaikan kuliahnya di Malang sementara Perawat Nonci bukti kekuatan cita-cita bahwa anak Sumba harus maju.  Orang tua Nonci yang berprofesi sebagai guru memberi pengaruh positif pada Nonci juga adik-adiknya untuk tetap bersekolah dan menuntut ilmu, mencoba mendobrak tali kekang adat istiadat yang terkadang membuat keuangan rumah tangga berkurang ke arah pendidikan. Sungguh luar biasa saya bisa mengenal mereka dan hingga saat ini masih terus dapat menjalin komunikasi dengan mereka. Juga Santo, sosok pemuda yang pantang menyerah dan membuktikan dirinya bahwa dia dapat diandalkan dalam banyak hal. Setahun sudah Santo menjaga saya dan sudah saya anggap seperti adik lelaki saya sendiri. 


Polindes ini bagian dari Puskesmas Wallandimu Kecamatan Kodi Bangedo
Dan...malam ini ketika saya justru tidak lagi berada di Sumba, puluhan cerita tentang Sumba masih ingin saya tuliskan.  Satu-satunya hal yang saya sesalkan tentang Sumba adalah bahwa saya menghilangkan kesempatan mengabdi tiga tahun lamanya di tempat yang sama. Bukan berarti saya tidak ingin lebih lama lagi di Sumba namun lebih ke arah saya terbentur keterbatasan umur dimana masih banyak kepulauan lain di Indonesia yang harus saya jelajahi sebagai tempat pengabdian saya.  Belum lagi ada cita-cita untuk membawa nama Indonesia di tingkat lebih tinggi yaitu internasional sehingga saya harus belajar memahami lebih banyak kebudayaan. Bagaimanapun...Sumba adalah keindahan tersendiri bagi kehidupan saya dan suatu hari nanti saya akan kembali kesana, mengunjungi para kurcaci cilik saya yang pasti sudah lebih besar lagi badannya dibanding tahun lalu, melihat "keponakan" kecil saya yang jumlahnya banyak sekali karena para ibu itu melahirkan setelah saya meninggalkan Sumba, juga mengunjungi "keluarga" yang tidak akan pernah saya lupakan. 


Untuk semua kenangan indah di Sumba
Tulisan ini hadir

Terima kasih Sumba
Salam
Avis